Tugas Ilmu sosial dasar
Nama : Annafsul muthmainnah
Kelas / NPM : 1Ka06/11113111
Kesetiakawanan Sosial dalam Bencana Alam
Rupanya ujian bagi
bangsa ini masih berkelanjutan. Cobaan beruntun seperti tidak ada
habisnya, bencana alam, seperti banjir terjadi di mana-mana dan ternyata
bukan monopoli Jakarta saja. Tanah longsor sampai gempa bumi yang
meluluh-lantahkan tanah sorong (papua). Belum lagi cobaan deraan krisis
ekonomi, yang mulai sekarang sudah mulai dirasakan akibatnya dan
diperkirakan dua-tiga bulan mendatang akan lebih memprihatinkan lagi.
Ujian dan cobaan yang tampak akan semakin meningkatkan kemiskinan dan
pengangguran di negeri yang kita cintai ini, seyogyanya harus disikapi
dengan sungguh-sungguh oleh seluruh komponen bangsa; baik itu
pemerintah, masyarakat, dan kita sendiri.
Tafsiran atas data
kemiskinan berdasarkan TKPKRI (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
Republik Indonesia), Maret 2007, bahwa angka kemiskinan mencapai 37,17
juta (16,58%) dan di pedesaan mencapai 63,52%. Garis kemiskinan dengan
indikator penghasilan Rp. 166.697,- per- bulan, untuk Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) mencapai 74,38%. Sedangkan perhitungan berdasarkan Indeks
Kedalaman Kemiskinan terjadi penurunan dari 3,43 (2006) ke 2,99 (2007).
Indeks Keparahan Kemiskinan dari 1.00 (2006) ke 0.83 (2007). Ini
berarti. rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati
garis kemiskinan. Untuk tingkat pengangguran sendiri, posisi kita
tertinggi di ASEAN. Bahkan dikatakan memberikan kontribusi 60%
pengangguran di kawasan ini. Jumlah pengangguran telah mencapai di atas
10 juta orang dan diperkirakan akan bertambah sekitar 2.5 juta pada
tahun ini sebagai akibat (terbanyak) pemutusan hubungan kerja seiring
melesunya kegiatan industri. Belum lagi bila istilah ’pengangguran
terselubung’ juga ikut di hitung maka tentu saja angka pengangguran pun
bisa jadi menggelembung.
Ujian dan cobaan memang berat dan terasa
akan lebih berat lagi apabila kita harus menanggung beban sendirian.
Mungkin ada sebagian di antara kita telah terpola dalam pemikiran
’kesendirian’, individualistik. Di jaman mordernisasi dan globalisasi
ini kecenderungan untuk bersikap individualistik hampir dirasakan
sebagai suatu kewajaran, terutama di kota-kota besar. Hubungan antara
sesama disekat dan dikotak-kotakan oleh kepentingan; di mana kepedulian
dan uluran tangan terhadap sesama baru akan muncul dan dibutuhkan
bersamaan dengan tuntutan atas kepentingan. Jika tidak berimbal
kepentingan maka sentuhan kepedulian pun menjauh. Tidak sedikit yang
telah lupa maknawi semboyan bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.
Tidak sedikit pula yang khilaf pada nilai dan kepribadian bangsa kita,
semangat senasib sepenanggungan, perasaan bersama dan gotong royong.
Nilai yang kemudian kita kenal dengan rasa kesetiakawanan sosial dan
atau solidaritas.
Apa relevansi kemiskinan dan pengangguran dikaitkan
dengan kesetiakawanan sosial atau solidaritas ? Sejujurnya seringkali
kita salah arah untuk memahami dan meng-implementasikan nilai tersebut.
Himbauan untuk menginternalisasi dan eksternalisasi semangat
kesetiakawanan cenderung didengungkan untuk menggerakan kepedulian,
simpati dan empati kita apabila terjadi musibah, seperti bencana alam.
Ramai-ramai lah kita membentuk posko, menggalang santunan dana dan
beragam kegiatan sebagai bentuk ekspresi sambung nurani. Lewat seminggu,
dua minggu, sebulan maka getar rasa kemanusiaan kita pun kian luntur,
berkurang bahkan tidak jarang lenyap entah di mana. Manusiawi ? cukupkah
kepedulian itu hanya ditunjukkan manakala bencana terjadi dan
setelahnya kepedulian tidak lagi dibutuhkan ?
Mungkin sudah saatnya
kita merenungkan rasa sosial, kodrat kita sebagai bagian kecil dari
kelompok yang lebih besar, yaitu peradaban keluarga, masyarakat, bangsa
dan terlebih mahluk yang bernama manusia. Simpati dan empati sebagai
perwujudan rasa kesetiakawanan sosial perlu terus menerus dihidupkan
dalam sanubari, ditularkan dan ditanamkan pada anak-anak kita, keluarga
dan handai taulan kita untuk kemudian dijalin secara bersama. Demikian
pula bagi elite politik dan tokoh masyarakat untuk tidak bosan memberi
contoh tauladan. Sungguh turut gembira melihat keberhasilan sebagian
(kecil) saudara-saudara kita atas kebelebihan materi hasil jerih
payahnya sehingga mampu meluapkan kegembiraan akhir tahun dengan
memenuhi tempat peristirahatan yang bagi sebagian orang hanya merupakan
angan-angan dan mimpi. Kita pun senang melihat kendaraan mengular
memenuhi kepadatan jalan raya, yang mungkin kita bisa tafsirkan sebagai
indikator kesejahteraan sebagian dari kita. Kita pun sukacita meski
diiringi perasaan cukup terperangah mendengar gaya hidup anak muda (di
kota-kota besar, khususnya Jakarta) menghabiskan biaya berpuluh lipat
dari indikator penghasilan kemiskinan hanya untuk rehat menghilangkan
kepenatan mengunjungi pub atau sejenisnya. Namun rasanya akan lebih
membanggakan apabila sebagian saudara-saudara kita itu mau
mengekspresikan ketulusan hati untuk memahami kondisi saat ini, kalaupun
masih belum dapat mengulurkan tangan untuk membantu maka alangkah elok
jika dapat menahan diri atas kelebihan materinya sebagai wujud simpati
dan empati kepada saudara-saudara yang masih belum dapat melepaskan diri
dari belenggu keprihatinan.
Kita berharap kesetiakawanan sosial
bukan sekedar retorika, ekspresi sesaat, seremonial atau menjadi hal
yang sering kita dengungkan dan mudah diucapkan namun begitu susah untuk
kita laksanakan. Rasa kesetiakawanan sosial sangat kita butuhkan
sebagai perekat bersama dalam mengurangi kesenjangan sosial dan
mengatasi permasalahan bangsa. Mari kita asah terus kepekaan sosial
untuk kemajuan bersama. Dan sejarah negeri merdeka ini sudah
membuktikannya.
Hal yang sama juga di bahas oleh wakil presiden saat
berada di Tokyo. Wapres menyampaikan hal tersebut saat bertemu dan
bersilaturahim dengan masyarakat Indonesia yang tinggal di Jepang di
Sekolah Indonesia Tokyo, Minggu malam waktu setempat.
“Akhir-akhir
ini kita menghadapi peristiwa yang tidak menggembirakan, namun
masyarakat kita teguh saat menghadapi musibah. Tapi kita bisa baca dan
dengar bahwa kesetiakawanan masih hidup, dengan masa modern
kesetiakawanan masih hidup,” kata Wapres.
Dijelaskannya, musibah
bencana alam yang melanda beberapa wilayah di Tanah Air baru-baru ini di
sisi lain bisa memperlihatkan bahwa kesetiakawanan dan rasa ingin
membantu sesama masih lekat.
“Mereka yang punya tugas untuk
menangani, ada juga relawan yang menyediakan diri dan waktunya bahkan
ada yang meninggal untuk selamatkan warga masyarakat, saudaranya,” kata
Boediono.
Rasa kesetiakawanan juga diperlihatkan, masih menurut
Wapres, ketika warga yang rumahnya tidak terkena dampak bencana alam
memberikan rumah penampungan sementara.
“Memang ada berita yang tidak
terlalu baik dari segi dampak dan akibat bencana. Namun bencana ini
juga membuktikan bahwa kesetiakawanan masih ada, mereka tidak
berkomentar namun bekerja secara luar biasa,” tegasnya.
Wapres mengatakan, musibah yang hampir beruntun terjadi tersebut hendaknya tidak membuat masyarakat putus asa.
Ia
memaparkan Indonesia yang memang terletak di daerah yang rawan bencana
telah dibuktikan oleh nenek moyang bangsa ini bahwa dengan keinginan
yang kuat maka dapat bertahan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang ada.
Dijelaskannya, pemerintah sudah memberikan yang terbaik dari yang mampu dilakukan untuk menangani bencana alam tersebut.
Masih terjadi
Dalam
kesempatan itu, Wapres mengatakan berdasarkan penelaahan sejumlah ahli,
aktivitas gunung Merapi di Daerah Istemewa Yogyakarta masih terjadi dan
diharapkan tidak lebih besar dari sebelumnya.
“Kita mengharapkan
bila sudah stabil maka pemerintah akan menyiapkan proses rekonstruksi
dan rehabilitasi dengan program yang terencana,” paparnya.
Sementara
itu untuk penanganan pascabencana di Mentawai, Sumatera Barat, Wapres
mengatakan sudah mencapai tahap akhir untuk tanggap darurat dan tengah
disiapkan cetak biru rehabilitasi dan rekonstruksi di kawasan tersebut.
“Kita
mengharapkan cetak biru ini dapat memberikan tingkat keselamatan yang
lebih baik. Wasior juga demikian dan tengah dalam tahap penyelesaian,
prinsipnya akan dibangun dengan tata ruang yang benar,” kata Boediono.
Cetak biru yang dimaksud, tambah Wapres, mencakup juga menghidupkan kembali sektor ekonomi dan sosial.
Silaturahmi
yang dihadiri sekitar 200 warga Indonesia di Tokyo tersebut dihadiri
juga oleh Ibu Herawati Boediono, Duber RI untuk Jepang Muhammad Luthfi,
Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Mendag Mari Elka Pangestu, Menperin MS
Hidayat, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida
Alisjahbana.
Menurut M Luthfi, di Jepang terdapat 29.000 WNI atau
setara dengan jumlah WNI di Korea Selatan. Dari jumlah tersebut 2.850
diantaranya mahasiswa dan ditargetkan dalam beberapa tahun ke depan
mahasiswa Indonesia di Jepang bisa mencapai 5.000 orang.
Masih
menurutnya, ada pula warga Indonesia yang memiliki kontrak kerja di
Jepang sebanyak 5.786 orang diberbagai bidang, yang terbaru adalah di
bidang perawat kesehatan.
Sejumlah BUMN juga memiliki kantor
perwakilan antara lain Garuda Indonesia, Pertamina, Bank BNI dan PT
Aneka Tambang. Bank Indonesia juga memiliki perwakilan di Jepang.
Dan adapun aksi yang dapat kita lakukan sebagai wujud dari kesetiakawanan adalah :
1. Mengumpulkan Sumbangan Sosial
Ada yang berupa kotak amal, dompet peduli, rekening sosial, dan yang lainnya untuk mengumpulkan sumbangan dana, uang atau barang
2. Membentuk Posko Peduli Sosial
Pos komando (posko), pos terpadu, dan pos lainnya dibangun, seringkali bersamaan saat ada musibah pribadi atau bencana massal
3. Mengadakan Bhakti Sosial
Kegiatan
bhakti sosial kesehatan seperti ini sudah sering dilaksanakan oleh
berbagai organisasi sosial masyarakat, saat hari perayaan tertentu,
apalagi ketika ada bencana alam.
4. Menggalang Dukungan Sosial
Membubuhkan
tanda tangan, mengumpulkan koin keadilan, memasang spanduk informasi,
melakukan aksi demo damai, sebagai wujud kebersamaan.
5. Memanfaatkan Situs Jejaring Sosial
Dunia
teknologi informasi sedang ngetrend dimaanfaatkan, melalui situs
jejaring sosial pertemanan, FaceBook atau Twitter, untuk mendukung
kebersamaan terhadap kasus khusus yang menimpa pejabat publik (kasus
pimpinan KPK Bibit-Chandra), tokoh politik, artis selebritis (kasus Luna
Maya) atau masyarakat awam biasa (kasus Prita Mulyasari).
Selamat
Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN), yang peringatannya setiap
tanggal 20 Desember. Segala momentum peristiwa apapun baik secara
pribadi maupun ada kejadian bersama yang bisa menggugah hati, semoga
menumbuhkan semangat menggalang kesetiakawanan sosial nasional. Suatu
semangat bersama untuk saling bantu membantu, dan bahu membahu, dalam
membangun bangsa dan negara tercinta, menuju kemajuan dan kesejahteraan
bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar