Senin, 31 Maret 2014





ILMU BUDAYA DASAR MINANGKABAU

PENDAHULUAN



            Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, artinya mengolah atau mengerjakan. Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh beberapa atau sekelompok orang dan diwariskan secara turun temurun dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Budaya adalah suatu pola hidup yang menyeluruh mencangkup seluruh masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya. Selain itu cipta, rasa, dan karsa juga merupakan asal mula terwujudnya suatu budaya. Kebudayaan daerah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia. Setiap daerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda. Indonesia terkenal dengan berbagai macam suku bangsa, adat istiadat serta budaya yang beragam yang terbentang mulai dari Sabang sampai Merauke. Hal tersebut membuat indonesia menjadi negara yang berbeda dengan negara dunia lainnya. Akan tetapi meskipun terdiri dari berbagai macam etnis suku dan budaya yang berbeda masing masing daerahnya, indonesia tetap menganut satu semboyan yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” , meskipun berbeda-beda tapi tetap satu jua. Kesatuan dan persatuan harus tetap dijaga demi keutuhan bangsa. Sebagai warga negara yang baik kita harus bangga dengan budaya yang beraneka ragam itu, apalagi dengan budaya daerah kita masing-masing. Kita harus melestarikan warisan dari nenek moyang yang telah turun temurun, menjaganya agar tidak punah termakan oleh zaman seiring dengan era globalisasi saat ini. Pada tulisan kali ini budaya daerah yang akan dibahas adalah budaya dari daerah asal penulis sendiri yaitu Minangkabau, Sumatera Barat.

PEMBAHASAN

                          Minangkabau terikat dengan slogan Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah. Pepatah mengenai Alam Takambang Jadi Guru merupakan pedoman bagi para putra putri Minang di daerah rantau, mengambil pelajaran dari alam untuk menaungi lika-liku kehidupan, beradaptasi dengan keadaan di lingkungan sekitar sehingga mempermudah jalannya interaksi dan sosialisasi antar sesama.Minangkabau merupakan daerah yang menganut sistem matrilineal, berbeda dengan daerah lain yang ada di Indonesia. Jadi dalam sistem kekerabatan "matrilinial" terdapat 3 unsur yang paling dominan, yaitu garis keturunan "menurut garis ibu", perkawinan harus dengan kelompok lain diluar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah Eksogami matrilinial, Ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan  kesejahteraan keluarga.
Minangkabau terbagi atas 3 wilayah, yang dikenal dengan Luhak Nan Tigo, dantaranya adalah Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limo Puluah Koto. Masing- masing Luhak tersebut memiliki adat istadat yang berbeda juga, sesuai dengan pepatah lain padang lain balalang, lain lubuak lain ikannyo.
~  Luhak Tanah Data
 Sifatnya : airnya jernih, ikannya jinak, buminya dingin.
~  Luhak Agam
Sifatnya : airnya keruh, ikannya liar dan buminya hangat
~  Luhak Limo Puluah Koto
Sifatnya : airnya manis sejuk, ikannya jinak dan buminya sejuk
Cara bertutur kata dalam pergaulan sehari-hari di Minangkabau juga diatur oleh adat yang dikenal dengan istilah Kato Nan Ampek. Diantaranya adalah kato mandaki, kato manurun, kato mandata dan kato malereng.

1.         Seni di Minangkabau

 ·         Ukiran
           Ukiran di daerah Minang bisa ditemukan dengan mudah yaitu dengan mengunjungi rumah adat yang disebut dengan Rumah Gadang. Biasanya ukiran tersebut berbentuk garis melingkar atau persegi, dengan motif seperti tumbuhan merambat, akar yang berdaun, berbunga dan berbuah. Pola akar biasanya berbentuk lingkaran, akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang atau ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas dan ke bawah. Jenis-jenis ukiran Rumah Gadang antara lain kaluak paku, pucuak tabuang, saluak aka, jalo, jarek, itiak pulang patang, saik galamai, dan sikambang manis. Selain di Rumah Gadang, ukiran juga dapat ditemukan pada kain hasil tenunan masyarakat lokal, salah satu tenun yang terkenal dari Ranah Mnan adalah tenun Pandai Sikek yang memiliki beberapa ukiran seperti halnya batik. 

    Seni Musik
     
      Di Minangkabau terdapat beberapa alat musik khas seperti saluang, bansi, talempong, pupuik batang padi, rabab, gandang dan lain lain. Alat-alat tersebut biasanya dimainkan saat acara adat berlangsung seperti acara kenduri, acara akikah, baralek penghulu dan lain sebagainya. Selain itu kesenian musik di Minangkabau juga berupa dikie, sampelong dan sijobang. Khusus sijobang biasanya dimulai setelah shalat isya dan berakhir sebelum subuh pada malam sebelum diadakannya kenduri dirumah anak gadih ( anak daro ) yang akan melangsungkan pernikahan esok harinya. Sijobang dimainkan semala suntuk dan menceritakan suatu tema untuk menghibur orang-orang yang membantu persiapan acara keduri

Seni Tari
     Tari khas dari daerah Minangkabau diantaranya adalah tari pasambahan, tari piriang, tari indang, tari payuang, dan lain lain. Tari pasambahan adalah tari yang biasanya dipertunjukkan untuk menyambut tamu pada sebuah acraa tertentu, sedangkan tari-tari yang lain biasanya dipertunjukkan pada acara adat seperti kenduri, dan lain-lain. Tari indang adalah tari yang hapir sama seperti tari saman dari Aceh yang lama kelamaan tempo gerakan tarinya semakin cepat.



·         Seni Bela diri
            Ilmu bela diri yang berasal dari Minangkabau adalah pencak silat. Dan bagi setiap orang yang memiliki ilmu pencak silat berlaku pepatah yang mengatakan musuah pantang dicari jikok basuo pantang dielakkan. Maksudnya adalah seorang pemencak tidak boleh mempergunakan ilmu yang dimilikinya sembarangan dan tidak boleh mencari gara-gara untuk mendapatkan musuh akan tetapi jika ada musuh yang datang menantang, pemencak harus siap menghadapi musuh tersebut dan tidak boleh lari menghindari musuh.

·          Randai
Merupakan sebuah kesenian Minangkabau yang terdiri dari gerakan menghentakkan kaki dan bertepuk tangan. Para pemain randai berjalan melingkar sambil memperagakan adegan cerita yang didendangkan. Celana yang dipakai pemain berupa celana yang besar dan longgar yang disebut sarawa galembong. Dalam randai ini juga terdapat beberapa adegan pencak silat. Kisah yang biasanya dimainkan dalam randai adalah Anggun Nan Tongga, randai ini biasanya dipertunjukkan dalam acara-acara adat di Minangkabau.


            2.         Kebiasaan Unik di Minangkabau
                      Tiap tiap daerah di Minangkabau memiliki kebiasaan unik dan ada juga yang melakukan kebiasaan tersebut pada hari hari tertentu, diantaranya adalah:

 ·         Manghoyak Tabuik
adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati Asyura, gugurnya Imam Husain, cucu Muhammad, yang khusus dilakukan oleh masyarakat Minang di daerah pantai Sumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman. Festival ini dilakukan dengan memainkan drum tassa dan dhol dengan tujuan menampilkan kembali pertempuan Karbala. Tabuik merupakan istilah untuk usungan jenazah yang dibawa selama prosesi upacara tersebut. Walaupun awal mulanya merupakan upacara Syi'ah, akan tetapi penduduk terbanyak di Pariaman dan daerah lain yang melakukan upacara serupa, kebanyakan penganut Sunni. Tabuik diturunkan ke laut di Pantai Pariaman, Sumatera Barat, Indonesia.  Upacara melabuhkan tabuik ke laut dilakukan setiap tahun di Pariaman pada 10 Muharram sejak 1831. Upacara Tabuik ini awalnya diperkenalkan oleh Pasukan Tamil Muslim Syi'ah dari India, yang ditempatkan di sini dan kemudian bermukim pada masa kekuasaan Inggris di Sumatera bagian barat



·         Pacu itiak
adalah olahraga tradisional asli yang sudah dijadikan tradisi sejak tahun 1028 khusus di daerah kelahiran saya, yaitu di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Pacu itiak merupakan satu - satunya tradisi di dunia. Olahraga ini awalnya berasal dari masyarakat di kanagarian Aur Kuning, Sicincin, dan Padang Panjang yang mayoritas hidup sebagai petani dan memiliki itiak. Itiak mereka biasanya juga sering di gembalakan di sawah-sawah mereka. Saat menghalau itiak dari arah atas ke bawah, maka ada kecenderungan itiak untuk tidak semata berjalan atau berlari, mereka terbang layang ke arah bawah. Dari sinilah muncul ide untuk melangsungkan pacu itiak. Kemudian masyarakat pun melatih itiak- itiak mereka supaya bisa diperlombakan untuk menghibur para petani. Upaya mengenai pelombaan atau pacu itiak tersebut akhirnya berhasil membuat olahraga ini tidak hanya dilakukan di sawah atau dataran biasa melainkan dalam sebuah gelanggang. Di kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh kota saat ini sudah terdapat 11 gelanggang. Olahraga ini memiliki sebuah komunitas yang bernama persatuan olahraga pacu itiak (PORTI).
·         Balimau
adalah tradisi yang biasanya dilakukan masyarakat Minang menjelang bulan suci Ramadan. Tradisi mensucikan diri dengan cara mandi bersama di sungai ini sudah berlangsung secara turun temurun. Saat mandi mereka biasanya menggunakan rempah dari daun jeruk,bunga-bungaan maupun dari daun pandan. Balimau merupakan tradisi turun temurun di Ranah Minang yang artinya mensucikan diri dengan mandi di sungai, tradisi ini masih dijalankan sampai sekaran bagi masyarakat Minang sebelum memulai berpuasa dan biasanya dilakukan di tempat pemandian seperti kolam renang, sungai dan lain lain.


                                                 KESIMPULAN

·                     Budaya tumbuh karena adanya sebuah peradaban pada suatu wilayah tertentu. Manusia hidup berkelompok pada beberapa wilayah sehingga menjadikan kebiasaan yang timbul di tempat tersebut berbeda dengan tempat yang lainnya. Begitu pula dengan budaya yang ada di Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang heterogen baik dalam segi suku, budaya maupun agamanya. Sehingga hal tersebut membuat Indonesia menjadi negara yang kaya akan kebudayaannya. Salah satu contohnya adalah daerah Minangkabau. Di Ranah Minang, tiap-tiap daerah juga memiliki adat istiadat ataupun kebiasaan yang berbeda-beda. Akan tetapi masyarakat minang tetap memegang teguh slogan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Begitu juga Indonesia dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika. Banyak warisan dari nenek moyang yang sangat berharga untuk bangsa ini, karena hal tersebutlah yang membuat  negeri ini menjadi unik, melestarikan budaya bangsa merupakan kewajiban kita, jadi mari kenali negeri kita lebih dekat sehingga tumbuh rasa cinta terhadap budaya dan bangsa sendiri.

                                         DAFTAR PUSTAKA
·          

Senin, 10 Maret 2014

tugas kuliah ilmu budaya dasar




 Nama : Annafsul Muthmainnah
 Kelas/NPM : 1KA06/11113111

 Tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar 


Adat Istiadat sjarah Budaya suku baduy (banten)


Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para penelitian belanda  yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok arab badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo(Garna, 1993).
Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah Prabu Bramaiya Maisatandraman dengan gelar Prabu Siliwangi. Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua” Artinya : “jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan“
Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo (Baduy Dalam) 
dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan (baju sangsang), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua (tenunan sendiri) sampai di atas lutut, dan sifat penampilannya jarang bicara (seperlunya) tapi amanah, kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.
Versi lain menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi di Banten Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai , maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan
Keturunan ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ) dengan Khas sama dengan di kampong Cikeusik yaitu : wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak bicara (hanya seperlunya), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih (blacu) atau dari tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua (diatas lutut).
Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, priangan, Bogor, Cirebon juga dari Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari orang-orang yang melangggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampong Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan cirikhas tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ) desa Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak dengan cirri-cirinya ; berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena merekan masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat.
Suku Baduy berasal dari daerah di wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak umumnya sewilayah Banten maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian, penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda  Sebutan bagi suku Baduy terdiri dari:
  1. Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu (Kepuunan) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana.
  2. Suku Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih terikatoleh Hukum adat dibawah pimpinan Puuun (kepala adat).
  3. Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran agama Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak mengikuti Hukum adat.





·         Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C.

·         Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

·         Asal Usul
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’ yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala’ (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda Asli’ atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.

Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan ‘wangsit siliwangi’ yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.


Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin:

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)

Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).

Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

·         Kelompok masyarakat suku  baduy
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka “Baduy Dangka” tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
·         Struktur pemerintahan

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu “puun”. Struktur pemerintahan secara adat Kanekes adalah sebagaimana tertera pada

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah “puun” yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).

·         Mata pencaharian

Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.







·         Interaksi dengan masyarakat luar suku baduy
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.

Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.

Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.